Jumat, 12 Maret 2010

MENGEMBANGKAN KARAKTER WIRAUSAHA PADA ANAK JALANAN

Anak jalanan sering diindikasikan dengan perilaku yang tidak teratur, menimbulkan gangguan ketertiban, rentan terhadap perilaku berisiko negatif dan bahkan tindakan kriminalitas. Kondisi ini sukar dirubah sehingga anak jalanan sering dianggap the lost generation yang tidak memiliki masa depan. Meskipun demikian ternyata anak jalanan memiliki dua karakter yang mendukung kewirausahaan, yaitu independent dan risk taker. Masih ada beberapa karakter wirausaha lain yang harus dikembangkan lebih jauh, yaitu passion, market sensitiviy, creative and innovative, calulated dalam risk taking, high ethical standard dan persistent. Pengembangan karakter wirausaha anak jalanan tersebut dapat dikembangkan secara utuh melalui pendidikan terbuka yang dilakukan dalam lingkungan komunitas anak jalanan, dengan suasana belajar yang mandiri dan menantang, serta melibatkan orang tua mereka.

Karakter Wirausaha Pada Anak Jalanan adalah sebagai berikut.
Passion; belum ada passion yang jelas, karena pekerjaannya di jalanan lebih didasarkan pada motif ekstrinsik. Independent; sudah mulai muncul independent karena kondisi memaksa mereka untuk berjuang di lingkungan yang keras tanpa mendapat dukungan yang cukup dari orang tua. Market Sensitivity; belum ada market sensitivity, karena dalam menjalankan pekerjaannya di jalan mereka lebih mengharapkan belas kasihan daripada berorientasi pada kepuasan konsumen. Creative and Innovative; belum banyak yang mengembangkan creative and innovative karena lebih berorientasi pada pemenuhan tuntutan hidup. Calculated Risk Taker; sudah muncul keberanian sebagai risk taker namun belum calculated karena kondisi yang memaksa dan kurangnya bimbingan. High Ethical Standard; belum memiliki high ethical standard karena kurangnya dukungan orang tua. Persistence; belum teruji memiliki persistence karena belum punya tujuan hidup yang jelas untuk ditekuni.

Mengembangkan Karakter Wirausaha Anak Jalanan Melalui Pendidikan.
Anak jalanan tidak bisa begitu saja diberi konsep pendidikan formal maupun informal seperti anak usia sekolah lainnya. Metode pengambilan paksa dari jalan untuk diberi pengarahan atau pendidikan agama di lembaga keagamaan, untuk selanjutnya dikirim ke sekolah dasar maupun menengah, ternyata tidak pernah berhasil menahan mereka untuk tetap kembali hidup di jalan (Listiani, 2009).
Pendidikan bagi anak jalanan seharusnya mempertimbangkan karakter wirausaha yang sudah mereka miliki, yaitu independent dan risk taker. Dengan demikian anak jalanan memerlukan suasana belajar yang tetap mandiri dan menantang. Memaksakan anak jalanan langsung masuk ke dalam kelas yang memiliki banyak peraturan dan metode pengajaran yang cenderung monoton tentu akan membuat mereka merasa tertekan, jenuh dan juga semakin rendah diri terhadap teman-teman lain yang sudah terbiasa dengan suasana belajar di kelas. Akhirnyanya mereka pun kembali ke jalan.
Salah satu konsep pendidikan yang dirasa cukup efektif bagi anak jalanan adalah pendidikan terbuka. Pendidikan terbuka adalah bagian dari pendidikan dasar yang mengembangkan potensi peserta didik dalam penguasaan membaca, menulis, berhitung, dan dasar keilmuan serta kecakapan, pembiasaan berpikir kreatif dan bekerja mandiri. Bagi anak jalanan, metode pendidikan tidak hanya bersifat permainan melainkan pekerjaan. Mereka membutuhkan konsep pendidikan pragmatis dari basis pengalaman kehidupan di jalan dan dilaksanakan di lingkungan komunitas anak jalanan itu sendiri. Bahkan pendidikan terbuka ini tidak hanya difokuskan pada anak jalanan melainkan juga orang tua anak jalanan tersebut. Konsep pendidikan yang mungkin saja gabungan dari pendidikan formal, informal, dan pendidikan jalanan. Namun bukan berarti pendidikan ini memberikan pembenaran untuk tetap hidup di jalan, melainkan pendidikan ini tetap akan diikuti dengan penanaman konsep hidup masa depan (Listiani, 2009).
Konsep pendidikan terbuka di atas cukup sesuai untuk diterapkan dalam rangka mengembangkan karakter wirausaha anak jalanan. Pendidikan terbuka dapat menciptakan suasana belajar yang mandiri dan menantang, karena mereka tetap dapat belajar di sela-sela aktivitas mereka di jalan. Dengan demikian karakter independent dan risk taker mereka tetap terpelihara. Pekerjaan mereka di jalan juga dapat dipergunakan sebagai “kendaraan” atau proyek kewirausahaan untuk lebih menghayati karakter-karakter yang akan dikembangkan melalui learning by doing. Meskipun demikian tetap perlu dikembangkan lagi beberapa karakter wirausaha melalui pendidikan terbuka ini, baik melalui mata pelajaran maupun pelatihan yang dibimbing secara intensif.
Passion mulai ditanamkan dengan apa yang dapat mereka lakukan saat ini. Seandainya mereka menyukai kegiatan menyanyi atau berjualan, kita perlu sadarkan kepada mereka untuk tidak asal-asalan menyanyi atau berjualan namun harus dengan gembira dan antusias. Antusiasme juga harus dibangun melalui kegiatan belajar di pendidikan terbuka. Perlu diupayakan banyak variasi dalam kegiatan belajar tersebut sehingga mereka merasa senang dan antusias dalam mengikutinya.
Market Sensitivity dapat diajarkan dengan mengamati apa yang disukai dan kurang disukai oleh pengguna jalan ketika anak jalanan menghampiri mereka. Apakah pengguna jalan suka atau tidak jika anak jalanan menggedor kaca mobil, menyanyi asal-asalan tanpa memandangkan wajah ke arah orang yang sedang di dalam kendaraan, menawarkan koran tanpa memberi kesempatan calon konsumen membaca kalimat headline-nya sedetikpun ataupun tetap berdiri di samping kaca jendela meskipun si pengguna kendaraan sudah memberikan tanda tidak mempunyai uang kecil. Melalui kegiatan ini diharapkan anak-anak jalanan mulai belajar meninggalkan sikap egoismenya, belajar mengasah kepekaan terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain, terutama “calon konsumennya”. Jika mereka telah memiliki kepekaan ini maka pelajaran selanjutnya adalah mengenali peluang yang ada, misalnya pengguna jalan yang seperti apa yang lebih tertarik untuk merespon kedatangan mereka dan kapan waktu yang tepat.
Creative and Innovative seseorang terkait dengan harga dirinya. Melalui pendidikan terbuka ini juga perlu diajarkan kepada orang tua tentang pola asuh yang benar, yaitu pola asuh authoritative menerapkan tingkat strictness dan supervision yang tinggi serta tingkat acceptance dan involvement yang juga tinggi dalam kehidupan anak-anak mereka. Mereka menetapkan aturan-aturan dalam keluarga tetapi mereka terbuka secara demokratis kepada anak tentang aturan-aturan yang ditetapkan (Santrock, 2002; Shaffer & Kipp, 2007). Tentu hal ini bukanlah hal yang mudah mengingat orang tua anak-anak jalanan biasanya memiliki hubungan pernikahan yang kurang harmonis dan juga adanya kondisi keuangan yang memprihatinkan. Namun melalui pemahaman akan pentingnya masa depan anak diharapkan para orang tua ini akan mulai sadar terhadap perannya. Sementara itu anak-anak jalanan juga perlu mendapatkan pelatihan-pelatihan konsep diri yang dapat meningkatkan harga diri mereka, sebelum mereka juga akan mendapat banyak pelatihan dan kegiatan yang bertujuan untuk merangsang kreativitas mereka. Misalnya mereka diminta memikirkan bentuk kegiatan mengamen yang atau berjualan koran yang unik, yang belum pernah dilakukan sebelumnya, namun menarik.
Calculated dalam Risk Taking perlu dikembangkan juga, mengingat karakter risk taker anak-anak jalanan belum diimbangi dengan perhitungan atau calculated. Karakter calculated ini dilakukan dengan memberikan informasi-informasi yang lengkap kepada anak-anak jalanan tentang dampak-dampak perilaku berisiko negatif, seperti narkoba dan seks bebas. Di samping itu anak jalanan juga diminta untuk belajar menghitung pendapatannya sehari-hari dan juga pengeluarannya. Diharapkan melalui kegiatan ini mereka mulai menyadari berapa banyak pengaluaran yang ternyata tidak berguna, misalnya untuk merokok, berjudi, dsb.
High Ethical Standard dikembangkan dengan memberikan pelajaran etika, anak-anak jalanan diminta untuk merefleksikan perilaku-perilaku buruk apa yang telah mereka lakukan dan mereka diminta untuk belajar mengubahnya, misalnya belajar mengucapkan terimakasih ketika diberi uang oleh pengguna jalan, belajar bersikap jujur, mengelola emosi, tidak berkelahi atau mengancam teman. Tentunya hal ini juga harus diimbangi dengan pembinaan orang tua dan lingkungan sekitarnya.
Persistence dikembangkan dengan mengajarkan pentingnya memiliki tujuan hidup yang jelas demi masa depan. Melalui pelajaran ini anak-anak jalanan akan mulai digiring agar berani memiliki cita-cita yang lebih tinggi dan tidak menggantungkan nasibnya di jalan terus-menerus. Selanjutnya mereka juga diminta membuat strategi pencapaian cita-cita tersebut, pengetahuan dan ketrampilan apa yang harus mereka kuasai untuk mencapainya, kebiasaan-kebiasaan buruk apa yang harus mereka hilangkan, serta waktu yang mereka targetkan untuk mencapai tahap-demi tahap. Bahkan jika ada yang tetap ingin menjadi pengamen pun dapat diarahkan untuk menjadi pengamen yang lebih kreatif dan “profesional”, lalu menentukan strategi pencapaiannya. Setiap periode tertentu anak-anak jalan dapat saling menceritakan pengalaman pencapaian target mereka masing-masing, sehingga dapat membandingkan juga dengan teman-teman yang lain.

Kesimpulan
Anak jalanan memiliki dua karakter yang mendukung kewirausahaan, meskipun belum berkembang secara utuh, yaitu independent dan risk taker. Masih ada beberapa karakter wirausaha lain yang harus dikembangkan lebih jauh, yaitu passion, market sensitiviy, creative and innovative, calulated dalam risk taking, high ethical standard dan persistent.
Pengembangan karakter wirausaha anak jalanan sebaiknya dikembangkan secara utuh melalui pendidikan terbuka. Pendidikan ini dilakukan dalam lingkungan komunitas anak jalanan, dengan suasana belajar yang mandiri dan menantang, serta melibatkan orang tua. Pekerjaan mereka di jalan juga dapat dipergunakan sebagai “kendaraan” atau proyek kewirausahaan untuk lebih menghayati karakter-karakter yang akan dikembangkan melalui learning by doing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar